Draft 5
Plagiarism: 1,5 %
Unique: 98,5 %
Polemik
Zakat Profesi
Tia Aulia
1305555
Zakat merupakan salah satu bagian dari rukun Islam yang ketiga.
Sebagaimana diketahui arti zakat secara istilah ialah sejumlah harta yang wajib
dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam (muzakki) dan diberikan kepada
orang yang berhak menerimanya (mustahiq). Hukum mengeluarkan zakat
adalah wajib jika telah memenuhi syarat dan rukunnya. Dasar kewajiban tersebut
berdasarkan Alquran dan hadis diantaranya terdapat dalam QS.At-Taubah ayat 103,
QS. Adz-Dzariyat ayat 9 dan masih banyak lagi ayat yang menerangkan tentang kewajiban
zakat tersebut.
Secara garis besar zakat terbagi ke dalam dua bagian, yaitu zakat
fitrah dan zakat mal. Zakat fitrah yaitu zakat yang wajib dikeluarkan oleh
seluruh umat Islam pada bulan Ramadhan untuk membersihkan dirinya. Zakat yang
dikeluarkan berupa makanan pokok sebanyak satu sho, atau setara dengan
2,5 kg. Sedangkan zakat mal adalah zakat yang dikeluarkan untuk membersihkan
harta kekayaan. Zakat ini terbagi ke dalam beberapa macam diantaranya zakat
pertanian, peternakan, perdagangan, zakat emas dan perak. Zakat mal dikeluarkan
jika telah memenuhi syarat yang ditentukan, yaitu telah mencapai nishab
(ukuran wajib mengeluarkan zakat) dan haul (telah mencapai satu tahun). Namun,
pada zakat pertanian syarat wajib mengeluarkan zakat hanya mencapai nishab saja.
Ukuran zakat mal yang harus dikeluarkannya pun berbeda-beda tergantung pada jenis
harta yang dimiliki.
Dewasa ini muncul pembahasan baru dalam ilmu zakat, yaitu zakat profesi
atau dalam istilah arab dikenal dengan zakatukasb al-‘amalwa al-mihan
al-hurrohatau zakat atas penghasilan dan pekerjaan yang bebas. Sebenarnya dari
mana asal munculnya zakat profesi? Dan bagaimana hukum zakat profesi?
Istilah zakat profesi itu sendiri terdiri dari dua suku kata, yaitu
zakat dan profesi. Profesi adalah suatu pekerjaan yang dilandasi keahlian
tertentu, seperti dokter spesialis, konsultan, arsitektur, pengacara dan lain
sebagainya. Jadi yang dimaksud dengan zakat profesi adalah zakat yang
dikeluarkan dari hasil pekerjaan seseorang yang dilandasi keahlian tertentu
yang bernilai besar.
Jika kita melihat dan menelaah kitab-kitab fikih ulama terdahulu,
maka kita tidak akan menemukan suatu pembahasan yang spesifik mengenai zakat
profesi ini karena zakat profesi ini timbul dari hasil ijtihad ulama zaman
sekarang diantaranya adalah Syekh Yusuf Al-Qardhawi dan Syekh Abdul
WahabKhalaf. Zakat profesi ini marak di Indonesia sekitar tahun 90-an ketika
Didin Hafiduddin menerjemahkan kitab karangan Syekh Yusuf Al-Qardhawi yang
berjudul Fiqh Zakat.
Ijtihad ulama tersebut dilandasi dengan pemikiran bahwa adanya
perbedaan kondisi yang terjadi antara zaman dahulu dan sekarang. Pada zaman
dahulu penghasilan yang besar berasal dari bertani, berdagang dan beternak
sehingga dapat membuat seseorang menjadi kaya. Berbeda dengan zaman sekarang,
orang yang bertani tidak sertamerta menjadi orang kaya, begitu pula dengan
orang yang berdagang dan beternak. Justru di Negara ini banyak petani dan
peternak yang hidupnya pas-pasan dan
tingkat ekonominya rendah. Tetapi sebaliknya, profesi-profesi tertentu dahulu
yang sudah ada dan mendatangkan penghasilan yang sedikit, pada zaman ini justru
mendatangkan penghasilan yang besar dalam waktu yang singkat, dan nilainya jauh
berkali-kali lipat dibandingkan dengan penghasilan petani atau peternak yang
ada di desa-desa. Profesi tersebut seperti dokter, arsitektur, pengacara dan
lain sebagainya.
Jadi, zakat profesi merupakan hasil ijtihad ulama masakini dengan
berbagai alasan dan dasar yang cukup kuat. Akan tetapi tidak semua ulama pada
masa kini setuju dengan zakat profesi tersebut. Berikut penjelasan hukum zakat
profesi menurut para ulama yang menentang dan mendukungnya.
Pendapat Penentang Adanya Zakat Profesi
Diantara ulama yang menentang adanya zakat profesi adalah Fuqaha kalangan
Zahiri seperti Ibnu Hazm, mereka berpendapat bahwa:
Pertama,
masalah zakat merupakan masalah ubudiyah. Sehingga segala bentuk aturan
dan ketentuannya hanya boleh dilakukan kalau ada petunjuk yang jelas dan tegas
menurut syariat atau ada contoh dari Rasul. Bila tidak ada, maka jangan
membentuk kreasi atau penambahan dalam masalah zakat seperti adanya zakat
profesi.
Kedua, tidak
ada nash yang tegas yang menjelaskan tentang zakat profesi. Karena pada
prisipnya, sebuah aktivita ssekelas zakat yang merupakan bagian dari rukun
Islam harus berdasarkan nash yang jelas dan kuat yang melandasinya.
Bahkan 14 abad kebelakang pun belum ada ulama yang membahas tentang zakat
profesi ini.
Ketiga, dalil
yang dikemukakan sebagai dalil zakat profesi sesungguhnya tidak tepat dan tidak dapat menjadi landasan zakat
profesi. Karena dalil tersebut telah memiliki pengertian umum yang mewajibkan infaq
atau mengeluarkan harta yang dikhususkan dan dijelaskan dalam hadis-hadis. Dalam
hadis disebutkan bahwa hanya ada dua jenis zakat, yakni zakat fitrah dan zakat
mal yang meliputi empat macam harta, diantaranya zakat al mawasyi (zakat
binatang ternak), zakat azzuruu’ waatstsimaar (zakat tanaman dan buah-buahan),
zakah at tijarah (zakat perdagangan) dan zakah adz dzahabwa al
fidhdhah (zakat emas dan perak) dalam hal ini termasuk zakat uang. Dengan demikian
tidak ada satu pun dalil yang mensyari’atkan adanya zakat profesi.
Pendapat Pendukung Adanya Zakat Profesi
Diantara ulama pendukung zakat profesi ialah Syekh Abdul Wahab
Khalaf, Syekh Abdurrahman Hasan, Syekh Abu Zahrah dan Syekh Yusuf Qardhawi.
Mereka berpendapat bahwa semua penghasilan dari kegitan profesi seperti dokter,
konsultan, akunting, seniman, notaris, dan lain sebagainya, apabila telah mencapai
nishab maka wajib dikenakan zakatnya sekali pun hitungannya belum sampai
satu tahun menurut kalender hijriyah. Mereka melandaskan pendapatnya tersebut
atas dasar:
Pertama, banyaknya ayat Alquran yang bersifat umum tentang
kewajiban mengeluarkan zakat dari semua jenis harta. Seperti dalam QS.
Adz-Dzariyat: 19, At-Taubah: 103. Firman Allah yang artinya, “Hai orang-orang
yang beriman, keluarkanlah dari sebagian hasil usahamu yang baik-baik” (QS.
Al-Baqarah: 267). Dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa segala hasil usaha yang
baik-baik wajib dikeluarkan zakatnya. Termasuk juga gaji atau hasil usaha dari
profesi seperti dokter spesialis, arsitektur, pengacara, konsultan dan lain
sebagainya.
Kedua, ijtihad berdasarkan kepada asas keadilan yang menjadi pokok
ajaran Islam. Penetapan kewajiban zakat atas semua jenis harta yang dimiliki
akan terasa jelas dibandingkan dengan hanya membatasi pada komoditi-komoditi
tertentu yang konvensional. Contohnya seorang petani yang saat ini kondisinya
kurang menguntungkan, tetapi apabila telah mencapai nishab maka ia wajib
mengeluarkan zakatnya, apalagi yang penghasilannya jauh diatas petani, maka
sangat adil bila profesi tersebut dikenai zakat, seperti dokter spesialis,
arsitektur dan profesilainnya.
Ketiga, seiring berjalannya waktu perkembangan ekonomi di dunia ini
akan semakin berkembang. Kegiatan penghasilan melalui keahlian dan profesi ini
juga akan semakin berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan keahlian dan profesi
akan menjadi kegiatan ekonomi yang pertama, seperti yang terjadi di Negara
industri. Penetapan akan adanya kewajiban zakat terhadapnya, menunjukkan bahwa
hukum Islam sangat aspiratif dan responsive terhadap perkembangan zaman.
Jadi, para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban mengeluarkan
zakat profesi. Ulama yang tidak mewajibkan zakat profesi menyebutkan bahwa tidak
adanya dalil khusus yang mewajibkan akan zakat profesi baik dari Alquran maupun
hadis. Sedangkan ulama yang mewajibkan zakat profesi menyebutkan bahwa zakat profesi
itu hanya sebuah istilah, karena zakat profesi ini samahalnya seperti zakat mal.
Nishab
dan Cara Mengeluarkan Zakat Profesi
Para
ulama berbeda pendapat dalam menentukan nishab dan cara mengeluarkan
zakat profesi, diantaranya:
Pertama: Jumhur ulama dari madzhab yang empat berpendapat bahwa
tidak ada zakat pada harta kecuali telah mencapai nishab dan haul (sudah
memiliki tenggang waktu satu tahun). Nishabnya senilai 85 gram emas
dengan kadar zakat sebesar 2,5% (Al-Fiqh Islamy Wa Adillatuhu, juz II : 866,
1989).
Kedua: Menurut Syekh Muhammad Ghazali yang mengiaskan zakat profesi
ini dengan zakat hasil pertanian, baik dalam nishab ataupun persentase
zakat yang wajib dikeluarkan, yaitu 10%.
Ketiga: Pendapat yang mengiaskan zakat profesi ini dari dua sisi,
yaitu dari segi nishab disamakan dengan zakat pertanian, sehingga zakat
profesi dikeluarkan pada saat diterima, dan disamakan dengan zakat emas dalam
hal kadar zakatnya yaitu sebesar 2,5%.
Pendapat yang mengiaskan zakat profesi ini dengan zakat pertanian,
diantaranya diambil dari pendapat sebagian sahabat seperti Ibn Mas’ud, Ibnu
Abbas, dan Mu’awwiyah. Dan juga dari sebagian ulama seperti Hasan Bashri, Imam
Zuhri, Makhul, Baqir, Umar bin Abdul Aziz, Shadiq, Daud Dzahiri, dan Nashir (Al-Fiqh
Islamy Wa Adillatuhu, juz II : hal. 866).
Keempat: Madzhab Imamiyyah yang berpendapat bahwa zakat profesi
sebesar 20% dari hasil pendapatan yang bersih. Hal ini berdasarkan pada
pemahaman mereka terhadap firman Allah SWT dalam QS. Al-Anfaal (8) : 41. Menurut
mereka kata ghanintum dalam ayat tersebut bermakna seluruh penghasilan,
termasuk honorarium, gaji, dan pendapatan lainnya.
Zakat
profesi ini dirasa perlu untuk dilakukan dikarenakan semua harta yang dimiliki
termasuk gaji atau upah didalamnya terdapat hak orang lain yang membutuhkan.
Pengeluaran zakat profesi ini dilakukan setiap memperoleh upah atau gaji jika
telah mencapai nishab. Jika zakat ini dikeluarkan menunggu haul dikhawatirkan
upah yang dierima akan habis terpakai.
MUI pun setuju dengan adanya zakat profesi ini. Mereka berpendapat bahwa
semua bentuk penghasilan yang halal wajib di keluarkan zakatnya dengan syarat harta
tersebut telah mencapai nishab dalam haul (satu tahun), yakni senilai
emas 85 gram. Adapun waktu
untuk mengeluarkannya yaitu pada saat menerima gaji jika sudah
cukup nishab, dan Jika tidak
mencapai nishab, maka semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun,
kemudian zakat profesi dikeluarkan
jika penghasilan bersihnya sudah cukup nishab. Jumlah zakat
profesi yang harus dikeluarkan yaitu 2,5 %.